Entri Populer

Selasa, 11 Januari 2011

situs info selebriti paling lengkap

klik aja http://celebrity.okezone.com/
http://www.zonaselebriti.com/

Belajar Musik

Loe2 yang bingung cari referensi tentang musik ada baiknya mencoba buka alamat ini.

www.gitaris.com/mengenalduniagitarklasik.p

Perkembangan Komputer

Quoted from Written by Mr. Endi on May 15, 2009 – 4:44 pm -
Perkembangan komputer untuk mencapai keadaan yang sekarang memerlukan proses yang sangat amat panjang. Berikut ulasan tahapan yang dapat menerangkan hal tersebut:
1. Generasi Pertama Perkembangan Komputer
Pada tahap pertama ini, perkembangan komputer mendapatkan faktor dorongan positif dari meletusnya perang dunia ke-dua. Dengan kata lain, pihak militer yang berperang sadar betul bahwa dengan mengadakan riset terhadap komputer maka akan mendatangkan kemajuan teknologi untuk suatu kemenangan perperangan. Mereka sadar betul dengan kemampuan potensial yang dimiliki oleh komputer. Oleh karena itu pada masa itu banyak tersedia dana yang sengat berlimpah untuk penelitian perkembangan komputer.
Dampak dari tersedianya dana yang melimpah ini sangat signifikan, hal ini terlihat dengan ditemukannya jenis komputer yang diberi nama “K3″ untuk mendesain pesawat dan peluru kendali, oleh konrad Zuse, 1941 seorang ilmuwan Jerman. Kemudian tak mau kalah imuwan Inggris pada  tahun 1943 dengan tujuan untuk mengalahkan Jerman, berhasil menemukan mesin komputer yang diberi nama Colossus yang didesain untuk memecahkan kode-kode sandi dari tentara Jerman. Colossus inilah merupakan salah satu alat penting yang menjadi modal kemenangan Sekutu atas Jerman pada perang dunia II. Namun sayangnya lahirnya Colossus tidak berpengaruh besar terhadap perkembangan dunia komupeter waktu itu, hal ini disebabkan oleh sifat karakterisitik dari Colossus itu sendiri yang bersifat tidak komputer serba-guna (general purpose computer) yang dimana hanya dirancang untuk memecahkan kode-kode rahasia Jerman dan kerahasian keberadaannya dijaga hampir satu dekade  karena alasan  keamanan untuk mencegah meletusnya perang kembali.
Dari pihak Amerika terus melakukan penelitian komputer untuk terus tetap berkembang. Pada tahun 1900 s.d 1973, seorang insinyur dari Harvard Howard H. Aiken dengan bekerja sama dengan IBM berhasil menciptakan kalkulator elektronik dengan panjang setengah lapangan bola kaki dan mempunyai panjang kabel total 500 mil untuk proyek US Navy yang diberi nama Mark I.
Setelah Mark I lahir, kemudian tercipta komputer yang bersifat serba guna (general purpose computer) yang dibuat oleh John Presper Eckert (1919-1995) dan John W.Mauchly (1907-1980) yang diberi nama ENIAC. ENIAC berhasil dibuat dengan prakarsa kerja-sama Amerika Serikat dan University of Pennsylvania. ENIAC sendiri merupakan kepanjangan dari Electronic Numerical Integrator and Computer. ENIAC dapat bekerja dengan kecepatan 1000 kali lebih cepat dibandingkan dengan Mark I.
Walaupun Colossus tidak boleh disentuh, beberapa penelitian tidak berhenti sampai disitu! Diawali pada pertengahan tahun 1940,  tim University of Pennsylvania dan John von Neumann (1903-1957) memiliki konsep besar untuk memproduksi komputer dengan kapasitas yang dapat digunakan dalam 40 tahun ke-depan! Dari kerja-sama tim ini terciptalah pada akhit tahun 1945, komputer yang diberi nama Electronic Discrete Variable Automatic Computer(EDVAC). Inti besar dari nilai potensial keberhasilan dari EDVAC adalah adanya unit pemrosesan sentral (CPU). Hal ini membuat komputer dapat dikontrol dan dikendalikan dengan sumber tunggal. Selain itu EDVAC memiliki memori untuk menampung program ataupun data. Sehingga hal ini memungkinkan komputer untuk dapat berhenti pada suatu waktu tertentu dan kemudian dapat dapat diatur untuk dapat melanjutkannya kembali. EDVAC mendorong tumbuhnya industri komputer komersial, oleh karena itu tak heran  pada tahun 1951, lahirlah merek UNIVAC I (Universal Automatic Computer I) menjadi komputer komersial pertama yang memanfaatkan prinsip kerja EDVAC, yang dilakukan oleh Remington Rand.
Dari uraian diatas terlihat bahwa perkembangan komputer generasi pertama umumnya dirancang untuk mengerjakan suatu tugas spesifik tertentu dimana hal ini dicirikan dengan adanya program kode-biner yang sangat berbeda (machine language). Hal ini membuat sistem kerja generasi komputer pertama sangat dibatasi. Kemudian komputer dari generasi pertama  biasanya terdapat penggunaan tube vakum (sehingga membuat ukuran komputer sangatlah besar) dan untuk penyimpanan datanya menggunakan silinder magnetik.
2. Generasi Ke-dua Perkembangan Komputer
Pada tahap ini sangat dipengaruhi dengan adanya penemuan transistor pada tahun 1948. Dengan adanya penemuan transistor ini sangat mempengaruhi untuk menggantikan fungsi tube vakum dalam televise, radio, dan tentunya pada komputer. Secara resmi transistor mulai digunakan di dalam komputer sejak tahun 1956. Hal ini sangat mempengaruhi dari hasil ukuran sebuah komputer dibandingkan jika masih menggunakan tube vakum. Pengecilan ukuran komputer semakin dipercepat dengan adanya penemuan lainnya seperti perkembangan dan pengembangan memori inti magnetik. Beberapa produk yang menggunakan teknologi ini adalah komputer produksi IBM dengan skema peluncuran bertahap seperti Strecth dan tak mau kalah Sprery-Rand membuat komputer bernama LARC dll. Perkembangan komputer dengan tujuan komersial semakin terlihat di tahun 1960, dengan ditandainya suksesnya bermunculan komputer untuk di bidang bisnis, pemerintahan dan pendidikan. Pada saat itu juga bermunculan aksesoris pendukung seperti printer, disket, program dll.
Perkembangan yang dipaparkan pada paragraph sebelumnya juga turut mendukung untuk lahirnya bahasa pemograman yang dapat dipelajari seperti FormulaTranslator (FORTRAN) dan Common Business-Oriented Language (COBOL). Industi komputer mulai berkembang pesat pada masa perkembangan komputer generasi ke-dua. Selain itu pada masa ini juga merupakan awal untuk munculnya bidang kerja baru seperti ahli sistem komputer, programer (ahli program) dan analisis data.
3. Generasi Ke-tiga Perkembangan Komputer
Inti dari pada tahap generasi ke-tiga adalah pada tahun 1958 ditemukannya IC (Intergrated Circuit). Penemuan IC dilatarbelakangi oleh tidak puasnya pada kerja transistor dimana ketika digunakan didalam komputer akan menghasilkan panas yang sangat besar sehingga dapat merusak komponen yag lainnya. IC terbuat dari quarsa rock (batu quarsa) yang ditemukan oleh seorang ilmuwan ahli instrument dari Texas, Jack Kilby. Hal ini-pulalah yang mendorng penemuan-penemuan penting sehingga suatu chip dapat mewakili beberapa komponen yang dibutuhkan oleh komputer. Akibatnya komputer terlihat lebih bersahabat dan nyaman ketka digunakan karena ukurannya yang semakin mengecil.
4. Generasi Ke-empat Perkembangan Komputer
Untuk perkembangan komputer pada generasi ini mungkin sudah dapat disekitar lingkungan kita. Penemuan IC yang spektakuler sebelumnya membuat perkembangan dunia komputer berkembang dengan pesat. Hal ini dengan ditandai dengan ditemukan komponen yang lebih unggul dibandingkan IC beserta turunannya.
Komponen yang dimaksud adalah seperti dengan berhasil diproduksinya suatu komponen yang dapat mewakilki beberapa komponen (kapasistanya lebih unggul dari pada IC) yaitu Large Scale Integration (LSI) dimana dapat memuat ratusan komponen dalam hanya sebuah chip. Tak selang berapa lama (1980) kemudian juga ditemukan produk turunannya yaitu 1980-an, Very Large Scale Integration (VLSI) yang memiliki kemampuan luar biasa untuk dapat memuat ribuan komponen hanya dalam sebuah chip tunggal. Dan mungkin Ultra-Large Scale Integration (ULSI) yang memiliki kemampuan yang lebih luar biasa untuk dapat  meningkatkan jumlah tersebut menjadi jutaan.
Dengan adanya penemuan diatas diharapkan akan berdampak pada penekanan biaya pembuatan komputer sehingga harga komputer-pun akan semakin lebih murah dan terjangkau oleh masyarakat tingkat menengah ke bawah. Salah satu contoh produk dipasaran yang mungkin sering pernah kita dengar sampai sekarang adalah Chip Intel 4004 yang dibuat pada pertengahan tahun 1971. Hal ini lah awal mulanya komputer dibuat dan disain untuk keperluan komersial yang dapat terjangkau untuk semua pihak.
5. Generasi Ke-lima Perkembangan Komputer (Komputer Masa Depan)
Baik, pada perkembangan komputer untuk masa ke-lima ini memang sangat susah. Karena masih dalam sebatas imajinasi. Mungkin bagi Anda yang membaca tulisan ini pernah menonton film berjudul “2001:Space Odyssey” karya dari Arthur C. Clarke. Dalam film tersebut merupakan gambaran komputer masa depan yang mungkin masih dalam imajinasi dalam pikiran kita. Dalam film tersebut komputer dapat diprogram sehingga dapat mendekati pemikiran manusia. Yang lebih parah dalam film tersebut komputer mampu untuk memprogram dirinya sendiri sehingga bisa saja mungkin pemikirannya mengalahkan pemikiran manusia.
Meskipun gambaran visual yang ditayangkan dalam komputer tersebut masih jauh dari pemikiran kita dan realita, namun tanda-tanda untuk mewujudkan itu semua sudah terlihat. Sejauh ini telah ada komputer yang dapat diprogram untuk dapat merespon printah secara lisan maupun nalar manusia.
Dewasa ini telah banyak kemajuan teknologi untuk mendukung perkembangan teknologi komputer. Diantaranya telah ditemukannya kemampuan pemrosesan parallel dimana direncanakan untuk menggantikan model non Neumann! Dimana sistem pemrosesan parallel itu akan mampu bekerja mengkoordinasikan banyak CPU untuk secara serempak. Selain itu juga telah ditemukan teknologi superkonduktor, sehingga dapat menghantarkan informasi lebih cepat dibandingkan dengan teknologi yang digunakan sebelumnya. Apapun yang terjadi, yang jelas secanggih apapun kemampun sebuah komputer tidak akan bisa mengalahkan kemampuan yang membuatnya, yaitu pikiran manusia.

Kategori Film menurur Genre

Bagi kamu2 yang bingung bagaimana menentukan jenis film (genre).
Gaul.com menyediakan beberapa alamat yang bisa kamu peroleh informasi lengkap.

alamat berikut bisa mengantarkan kamu menemukan jawabannya: http://id.wikipedia.org/wiki/Kategori:Film_menurut_genre

Perkembangan Teknologi Pada Dunia Film

Film merupakan salah satu media komunikasi. Melihat Film, berarti kita melihat suatu kebudayaan dalam suatu konteks waktu tertentu. Film merupakan salah satu sarana yang baik untuk menyebarkan suatu nilai-nilai kedalam khalayak luas. Film yang paling fenomenal adalah Titanic yang pendapatannya sangatlah besar dan belum mampu untuk dikalahkan oleh film manapun setelahnya.
Tidak hanya Film 2 D (dua dimensi) seperti Titanic yang berkembang dengan pesatnya, tetapi perkembangan Film 3 D (Tiga Dimensi) juga sangat luar biasa. Film pertama yang sangat kaya dengan teknologi adalah Star Wars. Pada tahun ini saja banyak film-film hollywood yang dibuat dengan teknologi tiga dimensi seperti ice age 3 dan Final Destination  3. Dengan perkembangan film-film tiga dimensi yang sangat luar biasa tentu saja membuat perkembangan teknologi pembuatannya semakin pesat.
Para penonton film 3 D diharuskan untuk menggunakan kacamata polarisasi agar mereka dapat melihat efek tiga dimensi dari Film yang mereka lihat. Dalam film Avatar kacamata polarisasi merupakan sebuah perkemabangan dalam film 3 D yang sebelumnya hanya menggunakan kacamata berlensa merah dan hijau. Berbeda dengan kacamata untuk menonton film 3 D, kacamata polarisasi terlihat bening sama seperti kacamata biasa.
Film ini menggunakan teknologi capture information, yang cara membuatnya dengan menggunakan komputerisasi dari image aksi manusia yang sesungguhnya. Gambar stereoscopic merupakan gambar dimana ketika kita melihat pada layar maka seolah-olah kita merasa bahwa gambar tersebut sangat dekat. Metode pengambilan gambar 3 D stereoscopic pertama kali ditemukan oleh Sir Charles Wheatstone pada tahun 1840. Stereoscopy digunakan banyak dalam photogrammetry serta di dalam dunia entertainment melalui produksi stereograms.
Tentu saja semua teknologi tersebut menggunakan bantuan teknologi komputer yang sangat canggih. Teknologi kamera yang digunakan merupakan gabungan dari dua jenis kamera sehingga membuat pengambilan gambar yang dilakukan mampu memberikan perspektif pengambilan gambar manusia dari tiga perspektif. Difilmkan dengan menggunakan 197 kamera sekaligus secara bersamaan, dan real-time. Hal ini tentu saja akan membuat gambar yang diambil menjadi lebih jelas dan lebih baik.
Perkembangan gambar tiga dimensi tidak terlepas dari perkembangan komputer animasi. Animasi komputer merupakan suatu seni untuk membuat gambar bergerak dengan mempergunakan komputer. Tentu saja hal ini membutuhkan teknologi komputer yang cukup canggih.
Perkembangan  film 3 D mulai berkembang pada awal 1990-an. Banyak film-film yang menggunakan teknologi ini. Akan tetapi, sayangnya perkembangan teknologi 3 D baru berkembang pesat di film-film hollywood. Indonesia belum memiliki teknologi yang memadai untuk membuat film dengan kualitas tiga dimensi yang baik. Padahal meraih mimpi merupakan suatu film animasi 3 D yang dibuat oleh para sineas indonesia dengan kulaitas Internasional. Pemerintah belum mendukung industri kreatif dengan baik. Padahal jika kita ingat, film animasi seperti meraih mimpi merupakan salah satu kemajuan penting dalam perkembangan film tiga dimensi dan animasi. Walaupun hasil cukup lumayan, tetapi jika pemerintah tetap diam dan tidak mempedulikan perkembangan industri kreatif akan membuat perkembangan film Indonesia tidak akan maju. Tanpa adanya dukungan teknologi dari pemerintah, maka perkembangan perfilman Indonesia hanya akan berkutat pada pita seluloid tanpa adanya “regenerasi” teknologi perfilman.

Perkembangan Dunia Film Indonesia

Perkembangan Film Indie Indonesia

Para pegiat film indie dari berbagai kota di Indonesia telah banyak menunjukkan aktifitas berkaryanya. Tak ada keharusan bagi para pegiat itu untuk terlebih dahulu mendalami teknik-teknik sinematografi. Sesuai dengan semangat independen, tak perlu ada ketergantungan pada teori-teori yang telah mapan. Tetapi dalam berbagai even festival film indie, terbukti karyakarya mereka sangat mengagumkan di mata para juri yang rata-rata adalah empu-empu sinematografi Indonesia. Menarik untuk di bahas bagaimana perkembangan film indie di Indonesia, dan bagaimana para pegiat tersebut belakangan ini telah menjadi motor penggerak pertumbuhan kembali perfilman nasional.

Dalam buku Ketika Film Pendek Bersosialisasi, Gotot Prakoso banyak memberikan gambaran sejarah dan perkembangan film independen di Indonesia, yang oleh Gotot disebutnya sebagai film pendek. Bagi Gotot, film pendek merupakan film yang durasinya pendek, tetapi dengan kependekan waktu tersebut para pembuatnya semestinya bisa lebih selektif mengungkapkan materi yang ditampilkan. Dengan demikian, setiap ‘shot’ akan memiliki makna yang cukup besar untuk ditafsirkan oleh penontonnnya. Ketika pembuat film terjebak ingin mengungkapkan cerita saja, film pendek seperti ini akan menjadi film panjang yang dipendekkan karena hanya terikat oleh waktu yang pendek. Menurut Gotot, sejarah pergerakan film pendek Indonesia diisi dengan penggalan-penggalan peristiwa. Berbagai peristiwa itu menandai suatu usaha yang sekaligus memberi perlawanan terhadap situasi perkembangan film Indonesia secara utuh. Sayangnya, secara formal para peneliti sejarah film Indonesia sampai sekarang hanya tertarik pada film-film mainstream yang beredar di gedung-gedung bioskop sebagai bagian dari sebuah industri budaya pop. Adapun, pergerakan film pendek Indonesia dianggap tidak menarik karena dianggap tidak masuk dalam ikatan industri itu.

Oleh kalangan akademisi dan seniman film Institut Kesenian Jakarta (IKJ), film independen memang lebih banyak disebut sebagai film pendek. Seperti diakui Gotot, soal
penamaan istilah ini memang beragam. Ada orang menyebut film indie, independen, dan juga film pendek. Bahkan kalangan seniman film Yogyakarta, film semacam ini disebut sebagai film ‘wayang’. Istilah ‘wayang’ ini diadopsi dari pengertian film masa lampau yang menyebutkan bintang film (artis) sebagai ‘anak wayang’ sehingga jika jenis film ini dianggap sebagai semacam wacana, Gotot membiarkan peristilahan itu berkembang sebebas-bebasnya. Jika hanya dipatok dengan istilah indie, nanti bisa jadi orang akan menghubungkannya dengan film masa lampau Indonesia. Kalau menyebut independen, bisa jadi orang akan mempertanyakan independen dalam soal apa. Sampai saat ini, Gotot yang sering menjadi juri film pendek di tingkat nasional ataupun internasional, masih menggunakan istilah film pendek. Selanjutnya, Gotot menambahkan bahwa sejarah film pendek Indonesia bergerak sendiri di luar industri film yang ada. Namun kenyataannya, film-film pendek Indonesia kini telah banyak mendapat perhatian dan penghargaan dari luar negeri. Banyaknya forum di luar negeri seperti festival film yang mengundang film-film pendek untuk dipertunjukkan dan dibahas. Dengan demikian, film pendek tersebut telah menjadi public relations untuk perfilman Indonesia, menggantikan film-film mainstream Indonesia yang kurang berbicara di forum internasional.

Melihat kilas balik pergerakan film pendek atau film independen bisa dimulai dari awalnya, yakni tahun tujuh puluhan ketika berdirinya Dewan Kesenian Jakarta-Taman Ismail Marzuki (DKJ-TIM) dan pendidikan film pertama di Indonesia. Pada saat itu, mulai popular media film 8 mm yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat. DKJ-TIM membuat Lomba Film Mini yang mengakomodasi munculnya film-film pendek buatan para amatir, para seniman di luar film, dan mahasiswa termasuk mahasiswa sinematografi Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ, yang kemudian berubah menjadi IKJ). Dari aktivitas lomba dan gencarnya DKJ-TIM mengadakan pekan film pendek dan alternatif, memunculkan gerakan pertama oleh anak-anak muda yang menamakan diri “Sinema Delapan’. Gerakan ini mencoba memunculkan karya-karya film dengan media 8 mm dengan semangat yang besar untuk menantang tata cara pembuatan film di industri film Indonesia yang saat itu mengalami booming yang luar biasa (satu tahun rata-rata berjumlah 125 judul). Sayangnya hanya dengan modal semangat, gerakan ini tidak bisa bertahan lama. Tidak banyak orang yang terlibat dalam pergerakan, kecuali hanya segelintir mahasiswa film LPKJ. Gerakan ini usianya tidak lebih dari satu tahun, walaupun para anggotanya telah memproduksi sejumlah film pendek.

Pada awal tahun delapan puluhan, muncul ‘Forum Film Pendek (FFP) yang digagas oleh banyak orang, khususnya dengan bergabungnya beberapa seniman di luar film dan juga dari kalangan industri film serta anak-anak muda, mahasiswa UI, IKIP, dan IKJ yang juga sudah membuat karya film. Forum ini cukup bisa menciptakan isu nasional dan banyak melakukan pemutaran film dan apresiasi film hingga ke Medan, Bali, dan Lombok. Sebagai sebuah gerakan, cukup kokoh dan sanggup menginventarisasi karya-karya film pendek. FPP juga menformulasikan film pendek sebagai film alternatif dan independen. Forum ini bergerak aktif di tahun awal delapan puluhan hingga pertengahan delapan puluhan. Misi FPP adalah gerakan seni melalui film film dan eksplorasi ke luar negeri. Pada saat inilah dimulainya film film pendek Indonesia mengikuti berbagai festival di luar negeri. Pada pertengahan sembilan puluhan, muncul gerakan ‘Sinema Gerilya’, sebuah istilah yang dilontarkan oleh Seno Gumira Adjidarma, seorang sastrawan dan pemerhati film yang bereaksi atas surutnya produksi film nasional. Seno melihat secara ekstrem bahwa produksi film alternatif sudah selayaknya menggantikan posisi film nasional. Pada saat ini, walaupun produksi film Indonesia surut, justru ada beberapa film yang dikategorikan sidestream atau film-film seni banyak berbicara di forum internasional. Oleh karena itu, sudah selayaknya semangat ‘Sinema Gerilya’ harus dimunculkan (Prakosa, 2001:10-13).

Film pendek berhubungan dengan cerita yang pendek, tetapi bermakna besar, sebagaimana terjadi dalam dunia visual art, telah mengalami berbagai eksplorasi dari bentuk dan kreasi yang menghasilkan style yang sangat khas. Karya Luis Bunuel, Maya Deren, dan karya-karya yang dibuat oleh Stan Brakhage atau Andy Warhol telah lebih jauh memberi komentar dengan style MTV dibandingkan dengan apa yang dilakukan sebelumnya dalam produksi film main-stream. Pembuat film seperti Stan Brakhage yang tertarik dengan proses menumpuk-numpuk gambar bukan menciptakan efek, melainkan banyak mewujudkan nilai simbolik sebagaimana terjadi pada refleksi diri dan mewujudkan dengan peralatan untuk menjadi manipulasi kemudian disampaikan dalam bahasa visual. Beberapa pembuat film pendek memosisikan diri sangat stylistic seperti halnya minimalis Andy Warhol. Sebenarnya posisi style-nya sangat jelas sebagai lawan yang memosisikan isinya, bahwa pengalaman dari film-filmnya menjadi komentar dalam medium melebihi interpretasi atas lingkungan atau dunia secara umum. (Prakosa, 2001: 25-26).

Jika diamati, ternyata banyak film independen kita yang sudah berjaya di luar negeri. Sebut saja, misalnya, film Revolusi Harapan karya Nanang Istiabudhi yang mendapatkan Gold Medal untuk kategori Amateur dalam The 39th Brno Sexten International Competition of Non-Comercial Featur and Video di Republik Cekoslovakia (1998). Juga film Novi garapan Asep Kusdinar masuk nominasi dalam Festival Film Henry Langlois, Perancis (1998).

Dalam Singapore Internasional Film Festival (1999), lima film pendek Indonesia ikut berlaga, yakni film Novi karya Asep Kusdinar, Jakarta 468 karya Ari Ibnuhajar, Sebuah Lagu garapan Eric Gunawan, Revolusi Harapan kreasi Nanang Istiabudhi, dan Bawa Aku Pulang buah karya Lono Abdul Hamid.

Film-film independen inilah yang mewakili Indonesia di forum-forum internasional. Selain film-film tersebut, masih banyak lagi film yang unjuk gigi di luar negeri. Kalau kini orang ramai membicarakan maraknya film independen, akarnya sebenarnya sudah ada sejak tahun tujuh puluhan. Jika fenomena ini merupakan suatu gerakan, bisa jadi nantinya pertumbuhan film independen tidak berlangsung lama sebab hanya sesaat sesuai dengan semangat sebuah gerakan. Akan tetapi, jika film independen ini dijadikan sebuah sikap bersama, seperti Manifasto Oberhausen (1962), Deklarasi Mannheim (1967), Deklarasi Hamburg (1979), dan Deklarasi Munich (1983), film independen Indonesia bisa jadi merupakan pre-condioning untuk kebangkitan sinema Indonesia baru (istilah Jiffest) secara menyeluruh.

Selain aspek misi dan penggarapan, film independen juga biasanya tidak dipatok dengan durasi seperti kebanyakan film mayor. Dalam beberapa event festival indie, sering film-film yang dikirimkan tidak berdurasi lama, tetapi masa tayangnya hanya sekitar 10-25 menit. Mengapa demikian? Film independen tidak melibatkan pemodal yang kuat sehingga untuk memproduksinya tidak harus menunggu dana cair dari seorang konglomerat atau pengusaha. Bagi penggiat film indie, jika mereka mempunyai dana untuk membeli kaset, makan/minum selama produksi hingga editingnya saja, dirasakan sudah cukup. Pemainnya terkadang tidak dibayar. Alat yang digunakan juga tidak harus menggunakan movie camera atau kamera Supercam VHS, betacam, atau kamera digital yang kini lagi ngetren. Terkadang dengan camera handycam pun jadi.

Di negara-negara maju seperti Meksiko, Australia, Amerika, Jerman, Perancis, Inggris, Iran, dan Jepang, para pembuat film indie semakin mendapatkan tempat di hati penonton. Sebagai contoh Iran; negara Islam ini terkenal dengan film-film humanisnya. Meskipun dikemas dalam frame film indie, mereka mampu membuat film yang enak ditonton dan menyiratkan nilai kemanusiaan. Tidak jarang film-film mereka mendapatkan sambutan hangat dari masyarakat dunia seperti pada ajang bergengsi, Academy Award, beberapa kali film Iran masuk nominasi.

Beberapa bulan yang lalu, sebuah produk rokok yang mencoba membuat kegiatan pelatihan film bagi pemula, yakni anak-anak usia SLTP. Usaha ini merupakan upaya mencari bibit para sineas film di tengah-tengah industri sinetron yang sering kehilangan akal. Kini banyak sinetron sebagai bentuk lain dari film mayor yang hanya betul-betul mengejar jam tayang serta masuk dalam sindikasi sinetron di Indonesia. Mereka yang biasa tayang di prime time justru kurang memiliki nilai artistik film yang menarik. Terkesan asal jadi dan muatannya sering keluar dari nalar dan logika kita. Untunglah muncul genre film televisi yang mampu memboyong sineas lama untuk ikut andil dalam revitalisasi film nasional. Namun, tetap ada titik jenuhnya sebab film-film televisi semacam ini juga akhirnya terjebak ke dalam mekanisme ‘kejar tayang’, yang seminggu sekali harus ke luar film televisi. Sementara itu dalam penggarapannya, lama kelamaan cenderung asal-asalan dan kurang greget. Selanjutnya, perkembangan istilah film independen di negara kita sebetulnya untuk pertama kalinya dipopulerkan oleh Komunitas Film Independen (Konfiden) yang berdiri pada 1999. Tampaknya, apa yang dilakukan Konfiden mengacu kepada Image Forum, yakni organisasi film nirlaba yang menitikberatkan pada film eksperimental di Jepang. Organisasi ini dideklarasikan dengan mengadakan kegiatan Festival Film dan Video Independen di Indonesia, yang sudah dilakukan dua kali, 1999 dan 2000 yang lalu. Dalam konteks ini, pengertian independen adalah mandiri, tidak terikat oleh berbagai ikatan. Bahkan, baik pendanaan, pembuat keputusan, pencarian ide maupun sistem peredarannya diusahakan mandiri. Hal yang hingga kini masih perlu diapresiasikan kepada masyarakat luas. Mungkin saja meminjam keberhasilan anak-anak muda yang membuat film secara independen seperti Mira Lesmana, Rudi Soedjarwo, Hary ‘Dagoe’ Suharyadi, Nanang Istiabudhi, dll. Menjadi triger untuk memacu tumbuhnya budaya penciptaan film dengan spirit mandiri. Sebetulnya sistem mandiri ini sudah pernah dirintis oleh Umar Ismail pada tahun lima puluhan. Seterusnya, setiap generasi memiliki pemberontakan terhadap suatu kekuasaan yang dianggap telah stagnan atau bahkan menjadi mapan. Oleh karena itu, demi perkembangan dunia sinema itu sendiri, semangat pemberontakan itu sangat diperlukan. Sebagaimana dicatat oleh sejarah film dunia, mereka yang tadinya memberontak itu kemudian menjadi penguasa lingkungannya seperti kelompok The Movie Brats, yang suatu saat menjadi penguasa Hollywood. Bahkan, pengaruhnya sangat kuat pada industri film di Amerika.

Kelahiran lembaga seperti yang dikelola, diantaranya, oleh Lulu Ratna, Dwi Aryo, Dono, dan Haikal patutlah didukung. Karena toh maksudnya mulia, yakni melakukan apresiasi film terhadap masyarakat dengan kontinyu, melakukan berbagai workshop, melaksanakan
festival film untuk mengumpulkan film, dan video yang tercecer, tetapi sekaligus akan mencatatkan seberapa banyak film yang mandiri itu telah diproduksi di negara kita (Prakosa, 2001:113-114).

Selanjutnya, di beberapa kota muncul juga lembaga nirlaba sejenis yang sama-sama menggunakan ‘independen’, seperti Bandung Independent Film d a n Komunitas Film Yogyakarta. Juga semakin bergairahnya Kine Klub di kampus-kampus. Momen yang pernah diselenggarakan SCTV dengan Festival Film Independen Indonesia (FFII) 2002 nyata sekali merupakan stimulus bergairahnya para penggiat film independen. Kini SCTV kembali akan menggelar FFI 2003 yang kedua kalinya dengan dua kategori, amatir dan profesional. Tidak hanya kalangan mahasiswa, tetapi juga pelajar dan umum yang melihat momen sekarang ini tepat untuk mengekspresikan impuls kesenian filmnya.

Dengan memahami uraian di atas, tidak ada lagi pemahaman bahwa membuat film adalah monopoli para pemilik modal. Fenomena film indie seharusnya menjadi penyemangat para pemula untuk menggeluti pembuatan film. Jika karyanya menarik, tentunya lembaga semacam Konfiden bisa membantu untuk mengirimkannya ke forum-forum internasional. Secara korespondensi, sineas-sineas muda bisa berhubungan dengan organisasi sejenis yang ada di berbagai belahan dunia lainnya sebab pembuat film independen memang tidak sendiri. Hampir di seluruh dunia, orang mempunyai hak yang sama atas film independen, karena begitu independenya film independen ini.

Sumber: Kuliah OnLine


Stop Dreaming Start Action
Tulisan Terbaru: